Saya menghela napas setelah selesai membaca buku ‘168 jam dalam sandera’ milik Meutya Hafid, yang menceritakan pengalamannya beserta Budiyanto selama disandera di Irak. Kisahnya sungguh menghanyutkan dan membuat saya ikut tegang, terharu, harap-harap cemas, serta mengerti apa yang dirasakan Meutya Hafid saat itu.
Buku dibuka dengan kepanikan yang melanda saat mereka dihadang gerombolan bersenjata di sebuah POM bensin. Sejatinya mereka sudah akan keluar dari perbatasan Irak saaat ditugaskan masuk kembali untuk meliput perayaan As-Syuraa. Dari POM bensin itu mereka digiring ke sebuah gua kecil di padang pasir, tempat mereka disekap.
Perlakuan yang diterima Meutya dan Budi selama disandera sangat baik. Mujahidin menyediakan makanan tergolong mewah untuk mereka. Makan kebab dengan daging, ritual minum teh bersama, hingga ngobrol dan bercanda. Terdengar seperti kegiatan antar teman atau kerabat, namun kenyataannya itulah yang terjadi di antara Meutya dan para penyandera.
Hidup dalam sekapan jelas tidak menyenangkan,dengan berbagai keterbatasan ruang dan privasi serta fasilitas MCK, belum lagi ‘ancaman’ dari rentetan tembakan dan bom dari tentara koalisi yang semakin mendekat. Tapi mengutip kata Budiyanto, ‘Jika di peluru itu tidak ada nama kita, maka kita tidak akan terkena’. Percaya pada takdir.
Untungnya upaya dari Indonesia telah membuat proses pembebasan mereka yang tanpa syarat berjalan dengan baik. Saat mengumumkan penculikan, para penculik melakukan pengambilan gambar untuk disiarkan di media seluruh dunia. Begitu juga saat pembebasan. Budiyanto diberi Al-Quran dan langsung spontan menciumnya. Sedangkan Meutya Hafid diberi berbagai ‘oleh-oleh’ termasuk kerudung. Kerudung itu konon harus dipakai padahal tangan Meutya sudah ‘penuh’. Terpaksa kerudung itu hanya bisa disampirkan di bahu. Di bukunya, Meutya menjelaskan insiden kerudung itu sehingga menjawab pertanyaan gue dan Angga beberapa tahun yang lalu saat melihatnya di televisi dan keheranan karena Meutya terlihat seperti ‘memaksakan diri’ untuk memakai kerudung itu.
Sekarang Meutya Hafid dan Budiyanto tentu sudah menjadi pribadi-pribadi yang lebih hebat lagi dari sebelum penculikan itu. Karena itulah esensi dari mengambil pelajaran hidup. Begitu, kan?
Leave a Reply