Saya baru pulang dari sebuah meeting di Bandung dengan badan sudah tidak fit karena perjalanan bolak balik Jakarta – Bandung dan juga karena kemarin malam saya kembali mengalami gejala demam berdarah (mungkin trombosit lagi turun drastis). Teman saya menghentikan sebuah taksi Blue Bird yang segera saya tumpangi menuju ke rumah. Jalanan lancar dan sepi, saya mengucap syukur dengan keadaan yang tumben ini.
photo credit: Boris van Hoytema
Sampai di belokan Slipi Jaya, taksi terhenti dan seperti biasa, di kala tempat lain sudah sepi, daerah rumah saya masih terus macet (padahal sudah hampir jam 9 malam). Saya lihat supir taksinya, masih muda, santun, dan sabar. Saya adalah pengguna regular Taksi Blue Bird dan ada beberapa sopir yang minimal mengeluh atau mendecakkan lidah saat bertemu dengan kemacetan, tapi yang ini berbeda. Saya jadi agak tertarik untuk mengajaknya bicara.
“Di sini langganan macet, Pak!”
“Oh… iya mbak… sekarang di Jakarta sudah merata…,” jawabnya sambil tersenyum.
Selanjutnya saya tanya sudah berapa lama bekerja menjadi supir taksi. Dia bilang baru 1 tahun. Sebelumnya ia bekerja membantu usaha orang yang satu kampung dengannya di Padang. Sayang, usahanya mandek dan ia terpaksa di-PHK. Dengan sedikit curhat, dia bilang kalau penghasilannya sebagai supir taksi setiap hari seperti hilang begitu aja. Pas-pasan gitu. Melihat pribadinya yang positive, saya memutuskan untuk memberikan sedikit motivasi.
“Bapak bisa nyetir ini keahlian loh. Kalo orang lain yang nggak bisa nyetir, mungkin setelah di-PHK, luntang lantung nggak ada kejelasan nasib. Bapak beruntung bisa bekerja dengan Blue Bird. Salah satu brand taksi terkemuka. Trus Bapak juga tinggal gratis di mess-nya Blue Bird. Wah, asyik sekali itu!”
“Tapi mbak, tinggal di mess itu terlalu ramai… bising….”
“Loh, itu seninya, Pak. Sebelum sukses, kita memang harus punya pengalaman aneh-aneh dulu, biar nanti kalau sudah sukses, ada bahan cerita lucu untuk anak cucu!”
Pak supir itu tertawa. Mungkin bingung mbak ini ngomong apa sih hehe.
“Intinya itu harus terus belajar, Pak. Biar maju!”
“Tapi mbak… gimana mau maju di perusahaan taksi begini? Paling saya bisa majuin mobil ke depan!”
HAHAHA. Saya tertawa dalam hati. Ini masalah mindset. Pikirannya telah menghalanginya untuk maju. Ia berpikir bahwa selamanya (or at least dalam 10 tahun ke depan), dia akan tetap bekerja di Blue Bird. Jika itu yang dipikirkannya, maka itulah yang akan didapatnya. Ganti mindset itu, please! Saya mencoba membantunya.
“Pak, baca buku dong. Belajar dari buku. Banyak ilmu yang bisa didapat dari situ. Trus, internet. Bapak bisa pake komputer?”
“Bisa mbak, tapi cuma buat ngecek penghasilan aja,” sahutnya terkekeh.
“Yaa… coba deh belajar pake internet! Dari situ Bapak juga bisa belajar banyak! Ilmu pengetahuan, itu modal untuk maju!”
Dia seperti belum mengerti, mungkin dengan sedikit contoh kasus dia akan paham.
“Mungkin saja suatu hari, ada penumpang Bapak yang punya lowongan kerja, dan menawarkan Bapak untuk jadi staf di kantornya, hanya karena Bapak berwawasan luas, hasil dari membaca buku dan browsing internet!”
Dia mengangguk-angguk seperti mencoba mencerna apa yang baru saja saya bilang.
Tak terasa, saya sudah sampai di depan rumah. Saya turun dari taksi sambil berkata kepadanya,
“Sukses ya, Pak!”
Samar-samar, saya mendengar ia menjawab…
Leave a Reply