Setelah Ramadan berlalu dan Lebaran menjelang, saya adalah salah satu yang ikut serta dalam kegiatan rutin tahunan bermacet-macet ria di jalanan yang bernama, mudik. Tahun ini pemudik bermotor dan bajaj(!) tambah memeriahkan suasana. Dalam 18 jam perjalanan di jalan, saya berpikir, “What the h*ll am I doing here…?”
Anyway, ya sudahlah. Saya akan cerita yang penting-penting aja dari mudik ke kampung nyokap di sebuah desa tak jauh dari Purwokerto. Di kampung, saya bertemu kembali dengan sepupu yang almost 15 years nggak ketemu. He used to take care of me when I was in Makassar.
Kemudian pas hari H (Lebaran), saya malah demam. Paksain ke mesjid untuk sholat Ied tapi udah nggak bisa ngider-ngider kemana-mana lagi deh. Tiduran aja. Feels better setelah makan Soto Jalan Bank (Purwokerto). Awalnya mau minta bungkus aja, soalnya rasa nggak kuat berdiri. Tapi ternyata mereka nggak terima bungkus. Service macam apa itu. Nggak banget deh. Terpaksa tertatih-tatih jalan sendiri ke warung soto itu.
Hari kedua meskipun masih nggeliyeng, tapi memaksakan diri pergi ke acara halal bi halal keluarga nyokap. Ended up tepar juga sih. Tapi ternyata endurance gue cukup keren. Karena meskipun rasanya sakit banget tapi mungkin tak ada yang menyadari kalo gue sakit kalo nggak dibilangin, “I’m sick bla bla.”
Dari Purwokerto, jalan 7 jam ke Semarang untuk bertemu calon mertua. Pas mau berangkat dari hotel ke rumah camer, tiba-tiba mati lampu, badai (angin puting beliung), banjir dan pas kita lagi bertamu deket rumahnya kebakaran. Seru! Hehe. Trus kita jalan dinner dengan city view yang bagus banget. Cuaca udah bagus lagi, so, we had a wonderful dinner.
Kemudian saatnya pulang. After painful hours macet di jalan (puncak arus balik ke Jakarta), akhirnya sampe juga. Langsung roboh di kasur yang berdebu. *BRUK*
Mudik is definitely not my thing.
Leave a Reply